Pukul 03:46
Yang sesungguhnya aku inginkan dan aku butuhkan adalah diriku sendiri?
Ketika pagi menjadi muasal setiap harap, kepada siapa harap sejati yang bisa aku andalkan tanpa berbuah kekecewaan? Ketika malam menjadi muara setiap harap, kepada siapa harap sejati layak diterima oleh yang benar-benar bersedia menerimanya?
Begitu banyak zona yang tidak
berdefinisi, tidak terjangkau oleh yang lainnya hingga menjadi sebab mengapa aku masih saja berjalan sendirian menuju peta yang mengarah kepada diriku
sendiri. Aku mencarimu, diriku. Perasaan tidak menentu yang entah berasal dari
mana, tidak mudah dijamah, bahkan oleh pemiliknya sekalipun.
Jika memang Tuhan adalah penentu hati setiap yang hidup
dan lebih tahu mesti seperti apa, maka izinan aku sekali saja untuk menjadi
Tuhan.
Sekali saja,
Aku ingin menjadi penentu
segala sesuatu dalam kisruhnya diriku
Aku ingin menjadi yang lebih
tahu mesti seperti apa, tanpa menduga hal terburuk sekalipun
Aku ingin menjadi penentu hati
setiap yang hidup. Maksudku, menjadi penentu hati diriku sendiri dan menjadi
lebih tahu mesti seperti apa.
Hanya sekali saja, aku ingin.
Itupun jika diizinkan. Walaupun entah siapa yang akan mengizinkan. Tuhan? Mungkin
Tuhan? Katanya Tuhan penentu segala? mungkin
hanya Ia yang akan mengizinkan dan menentukan. Jika, itupun.
Pada langit yang senantiasa menjadi
pelipur lara, di sana terdapat do’a-do’a ku yang membentang. Aku yakin, meskipun
langit terbilang rumit untuk dijangkau dengan seorang diri, meskipun ia begitu
mudah untuk berganti dirinya seperti apa dan mungkin justru langitlah yang
membutuhkan pelipur lara.. Tapi hanya ia, satu yang tetap menjadi pandangan
dambaan oleh segala yang hidup. Entah itu untuk menjadi alasan agar dapat menatap
hangat sinar matahari, ataupun untuk menjadi alasan agar dapat menatap rembulan
sembari bergumam, “Akankah besok aku
menatap matahari lagi?”.
Ternyata langit. Muara
sekaligus muasal yang selama ini tidak aku sadari. Ia, meski teramat rumit
untuk dijangkau dengan seorang diri, namun ialah satu yang layak diandalkan dan
menerima harap berwujudkan do’a-do’a. Seperti langit, dengan rumit dan
jangkauan tak terkira ; itulah aku kepada diriku sendiri.
Sejenak, ada nalar yang membuat
jari-jari tangan terhenti ketika hendak menyebarkan rumit pada tulisan ini. “Langit, yang rumit dan jangkauannya tak
terkira. Diriku yang tidak menentu dan tidak mudah dijamah. Satu yang layak diandalkan
dan menerima harap berwujudkan do’a-do’a. Seperti langit, dengan rumit dan
jangkauan tak terkira ; itulah Aku kepada diriku sendiri.”
—Rupanya, Tuhan tidak
mengizinkan dan tidak menentukan aku untuk menjadi Tuhan. Namun, Ia mengutus segala
yang hidup, lalu menyisipkan ujaran-ujaran yang menentramkan hati nurani serta
menyejukkan gersangnya diri.
Komentar