Sedikit Ungkapan untuk Tuhan
Jika diizinkan, aku ingin terlahir kembali namun
bukan dengan kehidupan yang kini sedang aku jalani. Aku tidak akan menyesal
karena sudah terlahir, hanya saja aku ingin hidup di tempat yang bukan
kini. Entah tempat seperti apa yang terkonsep di dalam kepalaku sekarang, aku
hanya ingin hidup dengan diriku sendiri yang dilingkari oleh desau
angin. Desau angin itu membawaku pada tempat yang antah-berantah di mana
rupanya. Dari tempat itu, aku disuguhkan kedamaian yang menyerupai diriku.
Tenang dan tentram. Terbayang seperti sunyi, sepi, dan sendiri. Namun di dalam
diriku meyakini, jika aku di sana, aku akan bahagia. Tak apa sepertinya
jika aku hidup sendiri di tempat itu. Tapi Tuhan, aku tetap membutuhkanMu, jangan
biarkan aku terbaring di tempat itu tanpa kiblat yang mengarah kepadaMu untuk
aku bisa berharap atas segala ingin dan butuhku.
Izinku ini kepadaMu bukanlah sesuatu hal
yang wajib apalagi mesti Kau kabulkan. Ini hanya ujaran yang terbentuk di dalam
kepalaku saja malam ini. Namun, jika memang Kau malah mempertimbangkan izinku
ini kepadaMu, mungkin aku juga akan kembali mempertimbangkan jika izinku ini
Kau persilakan.
Tuhan, aku hanya sedang lelah saja. Isi kepalaku
terlalu runyam, terlalu kusut serupa benang yang dengan sengaja diurai tanpa
tujuan akan digunakan untuk apa. Tuhan, aku hanya sedang entah mesti
bagaimana. Di dalam dadaku seperti terbaring sesak, sesak dari residu kehidupan
yang aku hirup. Tuhan, aku hanya sedang ingin menangis. Untuk ini, aku
tidak akan mengatakan entah. Karena sudah jelas aku ingin menangisi kehidupan
yang telah dan sedang menghantamku, selalu. Di setiap hantamannya tidak pernah
sedikitpun tersedia segan. Aku babak belur di berbagai sudut. Dari kisah
yang berkasih, hingga akhirnya kisah dan kasih itu kini hanya menjadi
puing-puing yang merapuh.
Tuhan, aku tidak sedang berpura-pura. Aku sedang
berusaha agar tetap berjalan dengan tegar. Namun bukan berarti aku tidak pernah
hilang arah. Hilang arah yang selalu mendatangiku itu, sewaktu-waktu
pernah mengajakku untuk menghilangkan hembusan nafasku juga. Namun seperti yang
aku tuliskan di atas; Aku sedang berusaha agar tetap berjalan dengan
tegar. Ayah, ibu, dan aku terlahir. Kau telah menitipkan anak pada keduanya.
Namun ada yang terlupakan oleh penghuni bumi ; ayah dan ibu pun titipan. Jika
setiap hal yang terjadi di hadapanku adalah permulaan, tentu saja sudah terlalu
banyak permulaan yang aku hadapi. Maka di mana setelah permulaan itu? “mati lebih cepat”, ujar seorang
pelantun.
Jika kelak aku terlahir kembali, ingat paragraf
pertama yang sudah aku tuliskan saja ya, Tuhan.
Komentar