Bu Novi
Aku ingat saat masih duduk dibangku sekolah dasar, seorang
guru perempuan tiba-tiba bertanya kepadaku, ”Kamu rumahnya bukan di daerah sini
ya?kok pulangnya sendirian?” begitu tanyanya. Ahh, sepertinya guru ini bukan
secara tiba-tiba bertanya, ia nampaknya memang sudah memperhatikanku. Dengan segala
rangkaian kata yang ada dipikiranku, aku mencoba untuk merangkai kalimat yang
tepat untuk menjawab pertanyaannya. “Orang tua aku kan sudah bercerai, Bu..”,
belum sempat aku menjelaskan hingga selesai tentang jawabanku, dikerumunan
ruang kelas yang bising dengan suara anak-anak
sekolah dasar sewajarnya, lalu Bu novi mengajakku
untuk berbicara empat mata di ruang kelas sebelah yang memang sedang kosong. Rasanya
tidak aneh bagiku, namun satu yang aku coba pahami dari dirinya adalah
bahwa ia ingin mengetahui dan mencoba untuk memahami akan diriku, saat itu aku
sebut saja bahwa ia khawatir dengan anak berusia sekitar 8 tahun dengan keadaan
keluarga yang sudah tak utuh lagi. Setibanya di ruang kelas sebelah yang kosong
dan tak lagi terdengar kebisingan, Bu Novi kembali bertanya kepadaku, “Coba,
jelasin lagi?” pintanya. “Iya, Bu, orang tua aku sudah bercerai, biasanya aku
diantar jemput kok sama ojek pribadi, cuman aku kadang maunya pulang sendiri
aja dan aku rasa aku aman kok untuk bisa jaga diri aku sendiri.” jelasku. Nampak
sekali dari raut wajah Bu Novi yang masih kebingungan dengan penjelasanku disertai
khawatir sebab terdapat kepolosan yang terlihat kuat dari kalimatku . Namun,
seperti tak ingin membuat aku bersedih, ia sepertinya paham akan raut wajahku yang
ketika memberikan penjelasan seakan menahan isak, ia pun mencoba untuk tidak
menanyakan terlalu dalam tentang kehidupan pribadiku.
Seusai dari kejadian itu, ia sering sekali
menemaniku untuk pulang sekolah, entah aku ataupun ia yang selesainya lebih
dulu, pasti diantara kami terbiasa untuk saling menunggu. Dari sekolah, kami
berjalan kaki untuk menuju rumah, ia berjalan kaki karena memang rumahnya masih
satu daerah dengan sekolah, sedangkan aku, aku terbiasa naik angkutan umum
setelah melalui perjalanan dengan jalan kaki dari sekolah ke bibir jalan raya. Iya,
aku naik angkutan umum, sebelum akhirnya Bapak kembali menyediakan ojek pribadi
untukku karena sudah pasti khawatir.
Beberapa waktu sudah banyak aku lalui bersama Bu Novi,
walaupun itu hanya dilalui sepanjang perjalanan pulang dari sekolah ke rumah,
di ruang kelas dengan riuhnya suara anak-anak sekolah dasar, dan dirasa percayanya
ketika mengajarkanku untuk membaca puisi. Hal ini bermula ketika mata pelajaran
Bahasa Indonesia, anak-anak di kelas 4B saat itu diminta untuk membuka buku
pendamping belajarnya dan membuka halaman yang berisikan barisan kata-kata yang
disebut puisi. Selayaknya guru yang menguji mental siswa/inya, Bu Novi berucap “Siapa
yang berani membacakan puisi ini?”, tanpa disangka-sangka, salah satu anak
laki-laki di kelas itu berteriak sembari menyebutkan namaku “Adel, Bu,
Adeliaaa!!!”. Sontak aku terkejut dan berekspresi kesal sebab ulah usil yang dilakukannya
kepadaku, dengan begitu, Bu Novi pun menghampiriku dan memintaku untuk
membacakannya. Ahhh, usil sekali rasanya anak SD semacam itu. Namun, aku bukanlah anak yang
penakut apalagi enggan untuk menunjukkan keberanianku, tanpa penolakan dan
tanpa keraguan, akhirnya akupun membacakannya dengan percaya diri di
hadapan teman-temanku pada saat itu. Semenjak kejadian itulah, beberapa temanku
ada yang meyanjungku, bahkan mendukungku bila sewaktu-waktu ada yang berkaitan dengan puisi ataupun semacamnya, tapi juga tak sedikit yang mengejek, karena
seperti yang sudah kita ketahui, jika membaca puisi sudah pasti nada bicara
bermain saat itu, beberapa ada yang mengejek dengan logat seolah sedang membaca
puisi, ahh menyebalkan memang. Namun, yang perlu aku nikmati adalah kenyataan
bahwa disitulah aku menemui diriku ; menyukai puisi. Bu Novi yang sepertinya
mulai melihat potensi pada diriku, pada beberapa kali kesempatan seperti acara
kenaikan kelas, aku sangat didukung olehnya untuk menunjukkan keterampilanku
dalam membaca puisi, bahkan ketika aku sudah naik menjadi kelas 6, ia tak ragu
meminta tolong kepadaku agar aku mengajarkan dan memberikan contoh cara dalam
membawakan puisi kepada adik-adik kelasku di sekolah dasar saat itu.
Rasanya kehidupan amat sangat cepat berlalu. Beberapa kejadian
yang berisikan perjuangan dapat dilalui hingga menemui titik kelegaannya. Petuah
serta dukungan darinya tak pernah aku lupakan disepanjang perjalanan
hidupku. Nyatanya benar, teman tak melulu tentang kesetaraan usia, Bu Novi yang
terbilang lebih di atasku pun mampu menjadi salah satu tempat ternyaman untuk
aku jadikan sandaran. Satu yang aku ingat darinya ketika aku merasa ragu akan
diriku, “Kamu bisa, kamu harus percaya diri, kamu kuat, jangan takut, ada Ibu.” begitulah kalimat hangatnya.
Bu, di manapun dirimu saat ini, di keadaan apapun dirimu saat
ini, semoga Tuhan senantiasa menyelimutimu dengan hal-hal baik, menjaga dan
merawat setiap hembusan nafasmu. Bila masih ada waktu yang tersedia, kelak aku ingin
bertemu kembali, entah di manapun dan kapanpun, sekalipun pada waktu yang tidak
direncanakan, sekalipun pada waktu yang tidak disangka-sangka, semoga.
Terima kasih, Bu Novi.
Komentar